Sejarah Implementasi ERP di Indonesia

Sejarah Implementasi ERP di Indonesia

Istilah ERP (Enterprise Resource Planning) pertama kali dipakai oleh Gartner Group pada tahun 90-an untuk menerangkan sistem komputerisasi terintegrasi untuk manufacturing, yang di dalamnya tentunya sudah termasuk MRP (Material Requirements Planning), dan generasi selanjutnya MRP II (Manufacturing Resource Planning). Meski awalnya ERP dikembangkan untuk manufacturing, sejak tahun 90-an vendor ERP mulai memasukkan paket mereka dengan modul-modul finansial dan akuntansi, serta Human Resource. Pada masa ini, ERP masih berfokus pada otomatisasi fungsi-fungsi back office yang tidak berhubungan langsung dengan customer atau pihak eksternal lainnya.

Di Indonesia, Astra International merupakan salah satu yang menjadi pioner dalam mengimplementasikan ERP di periode 90-an, dimana saat itu yang mendominasi pasar ERP adalah software dari Jerman bernama SAP yang memang punya pengalaman besar di manufacturing. Menjelang akhir 90-an, karena isu Millenium Bug, banyak perusahaan besar melakukan peremajaan sistem lama mereka dengan ERP. Saat itu, banyak teman-teman kami satu alumni yang bekerja dalam implementasi SAP di grup-grup besar seperti Indah Kiat, atau di perusahaan konsultan SAP seperti Iforte dan Metrodata. Dan karena implementasi SAP ini tergolong super mahal, maka perusahaan besar ini merasa perlu bikin subsidiary yang bisa deliver implementasi SAP ke perusahaan lain. Maksudnya mengubah dari cost center jadi profit center, kalau bisa.

Memasuki periode 2000-an, dominasi SAP mulai mendapat tantangan dari vendor-vendor IT lainnya. Ceruk pasar ERP yang besar ini ikut dilirik oleh Oracle, perusahaan database terbesar dunia yang meluncurkan aplikasi ERP mereka, Oracle Finance. Keduanya menjadi top player di dalam pasar ERP. Setelah mereka, ada puluhan vendor ERP second layer seperti JD Edwards, PeopleSoft, Mapics, APAC, IFS, dll. yang menawarkan harga yang sedikit di bawah dua nama besar tersebut. Perusahaan software nomor satu dunia, Microsoft pun tidak mau kalah, ikut bermain di pasar ERP dengan mengakuisisi beberapa vendor ERP sekaligus seperti Great Plains, Solomon, Navision dan Axapta (sekarang semuanya menjadi Microsoft Dynamics). Karena merasa ketinggalan, Microsoft tidak mau pusing untuk berlama-lama mendevelop software ERP dari scratch, supaya mereka bisa ikut menikmati kue ERP ini.

Namun demikian, meski vendor-vendor ERP semakin banyak bermunculan, kesan pertama ERP tetap sama yakni MAHAL. Saat itu hanya perusahaan-perusahaan besar saja yang berani berinvestasi dengan nilai milyaran untuk implementasi ERP. Sedangkan banyak perusahaan menengah ke bawah tidak mempunyai pilihan selain mengembangkan custom software sendiri dengan Foxpro, Visual Basic, dll.

Sementara itu, nun jauh di Jerman, di negeri kelahiran SAP sana, salah seorang eks direktur Oracle Eropa bernama Jorge Janke mulai mengembangkan ERP yang dirilis sebagai software open source dengan nama Compiere. Mulanya, Compiere didevelop untuk perusahaan distribusi ban milik Goodyear. Kemudian di tahun 2002, Compiere mulai menawarkan solusinya ini ke seluruh dunia dan membuka partnership dengan implementor lokal dari beberapa negara. Solusi ERP open source ini tentunya membuka opsi baru bagi perusahaan-perusahaan menengah ke bawah yang tidak mempunyai budget yang cukup untuk memilih software ERP propietary di atas. Solusi ini tentunya juga menarik untuk dibawa ke Indonesia.

Pada tahun 2004, Java User Group (JUG) Indonesia mengundang partner Compiere dari Malaysia untuk melakukan training bersama. Kami perlu tahu lebih banyak hal mengenai software ini sebelum bergerak menjadi implementornya. Mulanya solusi ini masih dipandang sebelah mata di Indonesia dan di masa-masa awal Goodwill Consulting mengalami banyak tantangan untuk “berani-beraninya” berkompetisi dengan nama-nama besar ERP lainnya. Namun demikian nyatanya solusi ini cukup diminati di segmen pasar ERP menengah ke bawah yang masih banyak menggunakan sistem manual dengan spreadsheet atau custom software.

Apalagi di pertengahan periode 2000-an, perusahaan-perusahaan yang “terjebak” menggunakan top-tier ERP mulai merasakan efek-efek dari kesalahan selama masa implementasi seperti data migration yang bermasalah, ketiadaan fitur lokal, sampai ke masalah performance sistem. Jargon-jargon seperti SAP = Setan Aja Pusing, Oracle = Ora Kelar-kelar (Tidak selesai-selesai) sudah sangat akrab di telinga user. Orang-orang mulai gelisah dengan masalah lisensi yang mahal. Belum lagi biaya maintenance per tahun yang konon 17% dari harga aplikasinya.

Peluang ini menggelitik vendor ERP besar untuk ikutan menggarap segmen pasar ini, maka dirilislah aplikasi seperti Oracle Finance for SMB dan SAP Business One. Aplikasi yang terakhir ini sebenarnya adalah hasil akuisisi SAP atas sebuah vendor ERP. Sama halnya seperti Microsoft, SAP tidak mau kehilangan momentum sedetik pun untuk turut bermain di segmen ini. Paket starter SAP Business One ditawarkan dengan harga yang cukup terjangkau, namun jika diperhatikan, paket ini hanya terdiri atas 5 user licenses yang mana tentunya tidak cukup buat sebuah perusahaan yang serius ingin menerapkan sistem ERP. Di sisi lain, solusi ERP open source bebas dipakai dengan jumlah user yang tidak terbatas secara gratis, tidak ada biaya lisensi sama sekali. Kekuatan brand SAP membuat aplikasi ini cukup laku di pasar karena bagi orang yang lebih mementingkan brand, mereka bisa dengan bangga menyandang predikat “We Run SAP”, meskipun yang mereka pakai sebenarnya software yang berbeda.

Memasuki periode 2010-an, teknologi semakin berkembang pesat seiring berkembangnya internet dimana-mana. ERP pun makin luas cakupannya, sampai ke CRM dan BI. Software ERP mulai memasuki era web-based, aplikasi dideploy di cloud, bisa berjalan di browser dimana saja. Tentunya tidak semua vendor ERP dengan cepat dapat mengikuti perubahan zaman ini sehingga masih banyak yang bertahan sebagai aplikasi desktop, yang ketika dipaksa diakses di cabang dengan remote desktop, jalannya jadi seperti keong. Tidak heran, banyak yang mulai beralih ke web-based ERP. Di periode ini nama-nama seperti Accumatica dan Oracle Netsuite mengisi kompetisi pasar, yang terakhir ini menawarkan aplikasi ERP dengan konsep SaaS (software as a service) yang dapat disewa.

Goodwill Consulting ketika itu sudah aktif sebagai kontributor Adempiere, sebuah project open source yang sebenarnya adalah fork dari Compiere. Project ini digagas oleh konsultan dan pengguna Compiere yang kecewa ketika Compiere gagal untuk memberikan aspirasi dan akses yang lebih luas kepada komunitas untuk berpartisipasi dalam pengembangannya. Adempiere sendiri berhasil melepaskan diri dari bayang-bayang Compiere dan melejit menjadi aplikasi ERP open source yang paling populer. Apalagi sejak tahun 2008, Adempiere mulai merilis user interface web-based-nya dan menjadikannya salah satu software ERP yang dapat berjalan di web-based dan desktop sekaligus. Di masa-masa ini juga mulai bermunculan beberapa software ERP open source lainnya, di antaranya Tiny ERP, yang mulanya ditujukan untuk perusahaan kecil, kemudian berganti nama menjadi Open ERP, lalu terakhir menjadi Odoo ERP.

Hanya saja, tidak semua software open source ini adalah open source yang murni dibangun oleh komunitas seperti Adempiere. Ada yang dirilis sebagai open source, tapi pengembang utamanya tetap dipegang oleh si vendor dan biasanya untuk model seperti ini, si vendor juga menyediakan versi komersil yang punya fitur-fitur ekstra yang tidak tersedia di versi open source.

Di periode ini, software open source sudah dapat diterima pasar dan dikemas lebih baik lewat dukungan konsultan-konsultan lokal seperti Goodwill Consulting yang lebih memahami bagaimana memadukan kekuatan software berkelas dunia ini dengan “kearifan lokal” khas Indonesia. Meskipun nantinya, kami menyaksikan ada beberapa konsultan abal-abal gagal untuk mendeliver implementasi dengan baik dan membuat image Adempiere agak tercoreng. Karena itu, dari Goodwill lahirlah distro Adempiere dari pengembangan tim sendiri yang diberi nama Goodwill ERP. Ini adalah fork Adempiere yang dikemas dan disiapkan khusus untuk pasar Indonesia, dimana pengalaman dan best practice kami sejak tahun 2005 dituangkan ke dalamnya, dan ketika dieksekusi oleh tim implementor Goodwill yang berpengalaman, menjamin implementasi ERP yang lebih smooth. Goodwill ERP berjalan dengan antar muka web based yang aman, cepat dan handal, dan tersedia baik dalam layanan private cloud atau on-premise.

Memasuki akhir periode 2010-an, terdapat fenomena software akuntansi naik kelas dan menyandang predikat ERP. Memang, adalah suatu hal yang alamiah ketika suatu software dikembangkan terus-menerus, fitur dan modulnya pun akan semakin bertambah, sehingga yang tadinya hanya mencakup fungsi tertentu saja, umumnya akuntansi, maka sekarang mencakup banyak fungsi ibaratnya sebuah ERP. Ini sebenarnya patut dicermati agar tidak salah pilih karena disain asli suatu software menentukan seberapa baik dia dirancang untuk menjadi sebuah sistem yang terintegrasi. Biasanya software akuntansi dibangun dengan sudut pendekatan orang akunting, dimana tidak penting kontrol operasional sepanjang tujuan akuntansinya tercapai. Di sisi lain, software ERP dirancang sejak awal untuk menjadi satu sistem terintegrasi yang akuntabel, yang memperhatikan segala aspek, tidak hanya pada satu fungsi tertentu saja.

Sama halnya dengan pengalaman Goodwill Consulting ketika memilih untuk menjadi implementor software ERP. Melalui observasi dan penelitian yang mendalam terhadap isi software, kami sangat kagum dengan disain Compiere yang elegan, dengan konsep Application Dictionary-nya yang sangat fleksibel, dengan Multi Dimensional Accounting-nya, yang di saat itu fitur seperti ini hanya bisa dinikmati di top-tier ERP saja. Ada banyak pilihan software lainnya saat itu, tapi Compiere memenangkan hati kami, dan sejak itu kami tidak pernah berpaling. Kami adalah saksi dan pelaku, yang tumbuh-kembang bersama dengan Compiere, Adempiere dan sekarang Idempiere, selama hampir 20 tahun, dan menyaksikan bagaimana software ERP datang dan berlalu.

Leave a Reply